Indonesia memiliki potensi dan infrastruktur untuk menggelar acara besar, namun para ahli menyatakan logistik dan organisasi masih menjadi masalah yang perlu ‘diratakan’
Pelaku industri juga mendesak pemerintah Indonesia untuk membina bakat lokal agar menciptakan skena kreatif yang berkembang dan berkelanjutan
Indonesia ingin meniru kesuksesan “Swiftonomics” di negara tetangga Singapura dengan investasi besar untuk promosi pariwisata, tetapi para ahli industri terbelah apakah itu strategi yang tepat untuk negara kepulauan ini.
Sensasi pop AS Taylor Swift akan tampil di Stadion Nasional Singapura dari 2 hingga 9 Maret untuk enam pertunjukan yang sudah terjual habis, yang bisa menghasilkan ratusan juta pendapatan pariwisata untuk negara tersebut karena lebih dari 300.000 penggemar diharapkan hadir.
“Menggelar bintang mega seperti Taylor Swift mungkin terdengar mengesankan dan bergengsi, namun pada akhirnya bukan itu yang mendukung industri, yang membutuhkan aliran acara yang lebih stabil, terutama untuk negara sebesar Indonesia,” ujar Teguh Wicaksono, seorang pengusaha musik dan salah satu pendiri proyek arsip musik kontemporer digital Indonesia Sounds From The Corner, kepada This Week in Asia.
Sandiaga Uno, menteri pariwisata Indonesia, mengatakan kepada Bloomberg pada 18 Februari bahwa “kita membutuhkan apa yang berhasil dilakukan Singapura dan Australia, yaitu mendatangkan Taylor Swift. Kita membutuhkan Swiftonomics di Indonesia.”
Untuk tujuan ini, Sandiaga mengatakan kementeriannya telah meluncurkan Dana Pariwisata Indonesia, dengan dana awal senilai 2 triliun rupiah (US$128 juta). Ia mengatakan dana tersebut didirikan untuk membantu negara dalam menawar “acara musik, olahraga, dan budaya yang dianggap mampu menghasilkan efek pengganda untuk pariwisata Indonesia”.
Otoritas Singapura dilaporkan setuju membayar Swift antara US$2 juta dan US$3 juta per pertunjukan agar ia tampil eksklusif di negara kota tersebut dan menghindari tujuan lain di Asia Tenggara.
“Kompensasi moneter yang diduga ditawarkan oleh Singapura untuk mengikat Swift agar tampil eksklusif di sana jelas membuat beberapa pihak di Jakarta merasa tidak nyaman,” kata Gancar Premananto, ekonom di Universitas Airlangga Surabaya.
“Kontrak eksklusif telah menyebabkan efek kelangkaan yang memaksa Swifties di seluruh Asia Tenggara menuju Singapura untuk melihat idola mereka tampil langsung, menghasilkan manfaat ekonomi maksimum bagi Singapura dalam prosesnya.”